Greenpeace Soroti Potensi Kerusakan Lingkungan Akibat Tambang Nikel di Raja Ampat
Papua Barat Daya, Greenpeace mengkritisi keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia yang menghentikan sementara operasi tambang nikel PT Gag Nikel di Raja Ampat. Juru Kampanye Hutan Greenpeace, Iqbal Damanik, menyatakan bahwa langkah ini justru berpotensi menimbulkan kebingungan baru, mengingat masih ada lima izin tambang nikel aktif lainnya di kawasan tersebut.
"Penghentian sementara PT Gag
tidak serta-merta menyelesaikan masalah. Masih ada empat lokasi lain yang
izinnya dikeluarkan Kementerian ESDM, yaitu di Pulau Kawe, Pulau Manuran, Pulau
Batang Pele, dan Waigeo Besar," ujar Iqbal.
Ia menegaskan bahwa aktivitas
pertambangan di pulau-pulau kecil seperti Raja Ampat sebenarnya dilarang
berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K). Larangan ini diperkuat oleh Putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-XXI/2023.
Lebih lanjut, Iqbal mengungkapkan
bahwa deforestasi di Raja Ampat telah mencapai 500 hektar, dengan 300 hektar di
antaranya terjadi di Pulau Gag. "Ini angka yang sangat besar untuk wilayah
kepulauan kecil. Bahkan, kami menemukan kerusakan terumbu karang di sekitar
lokasi tambang. Padahal, Raja Ampat adalah rumah bagi 70% biodiversitas terumbu
karang dunia," tegasnya.
Greenpeace mendesak pemerintah, khususnya Kementerian ESDM, untuk tidak lemah dalam menindak perusahaan tambang, termasuk yang dimiliki BUMN seperti PT Antam pemegang saham mayoritas PT Gag Nikel. "Ini aset negara, seharusnya pemerintah bisa mengambil sikap tegas untuk melindungi lingkungan," tambah Iqbal.
Sebelumnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengonfirmasi bahwa PT Gag Nikel, anak usaha PT Antam, merupakan satu-satunya perusahaan yang aktif beroperasi di Raja Ampat. Pemerintah memutuskan menghentikan sementara kegiatan tambang tersebut untuk memverifikasi dampak lingkungannya.
Comments
Post a Comment